Saya akan bahas masing-masing pertanyaan antum.
1. Ungkapan "Tangan Allah bersama jamaah."
Ini adalah hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dari Ibnu Umar Radhiallahu 'Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي - أَوْ قَالَ: أُمَّةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَلَى ضَلَالَةٍ، وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الجَمَاعَةِ، وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku -atau Beliau bersabda: umat Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam- di atas kesesatan, dan tangan Allah bersama jamaah, dan barang siapa yang menyempal maka dia menyempa menuju neraka.
Hadits ini diriwayatkan oleh:
- Imam At Tirmidzi, dalam Sunannya, Bab Maa Ja'a fi Luzumil Jamaah, No. 2167
- Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Bab Raddul Bida' wal Ahwa', 1/215
- Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak, Kitabul 'Ilmi, No. 397
Hadits ini, menurut Syaikh Al Albani adalah SHAHIH, khususnya sampai kalimat: ....tangan Allah bersama Jamaah." Sedangkan tambahan kalimat: barang siapa yang menyempal .. dst, adaah dhaif. (Jami'ush Shaghir wa Ziyadatuhu No. 1848)
Siapakah Jamaah yang dimaksud? Berikut penjelasan dalam Sunan At Tirmidzi:
وتفسير الجماعة عند أهل العلم هم أهل الفقه والعلم والحديث، وسمعت الجارود بن معاذ يقول: سمعت علي بن الحسن، يقول: سألت عبد الله بن المبارك: من الجماعة؟ فقال: أبو بكر وعمر، قيل له: قد مات أبو بكر وعمر، قال: فلان وفلان، قيل له: قد مات فلان وفلان، فقال عبد الله بن المبارك: أبو حمزة السكري جماعة: وأبو حمزة هو محمد بن ميمون وكان شيخا صالحا، وإنما قال هذا في حياته عندنا
Tafsir tentang makna Al Jamaah menurut para ulama adalah mereka para ahli fiqih, ahli ilmu, dan ahli hadits. Aku mendengar Al Jaruud bin Mu’aadz berkata: Aku mendengar Ali bin Al Hasan berkata: aku bertanya kepada Abdullah bin Al Mubarak: Siapakah Al Jamaah?” Beliau menjawab: “Abu Bakar dan Umar.” Lalu dia katakan kepadanya: “Abu Bakar dan Umar telah wafat.” Beliau menjawab: “Fulan dan Fulan.” Dikatakan kepadanya: “Fulan dan Fulan juga telah wafat.” Abdullah bin Al Mubarak menjawab: Abu Hamzah As Sukkari adalah Jamaah. Abu Hamzah adalah Muhammad bin Maimun, dia seorang syaikh yang shalih, dan bagi kami konteks jawaban Beliau (Abdullah bin Al Mubarak) ini adalah pada zamannya. (Sunan At Tirmidzi, 4/467. Cet. 2. 1395H-1975M. Tahqiq dan Ta’liq: Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Fuad Abdul Baqi, Syaikh Ibrahim ‘Athwah. Penerbit: Mushthafa Al Babiy Al Halabiy, Mesir)
2. Ungkapan “Keruhnya jamaah adalah lebih baik dibanding jernih sendirian.”
Ini bukanlah hadits, tetapi secara makna adalah bisa salah dan bisa benar, tergantung situasi dan kondisi jamaah yang ada bagaimana.
Jika seorang muslim berada di sebuah jamaah manusia yang kerusakan dan cacat yang ada tidaklah dominan, celah kebaikan masih banyak, dan potensi untuk lebih baik juga masih berpeluang, dan dia pun bisa bertahan atas fitnah mereka, maka tetap berada dalam komunitas manusia tersebut adalah lebih utama.
Imam An Nawawi membuat Bab dalam Riyadhushshalihin-nya:
باب فضل الاختلاط بالناس وحضور جمعهم وجماعاتهم, ومشاهد الخير, ومجالس الذكر معهم وعيادة مريضهم وحضور جنائزهم ومواساة محتاجهم, وإرشاد جاهلهم,وغير ذلك من مصالحهم, لمن قدر على الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر,وقمع نفسه عن الإيذاء وصبر على الأذى.
Bab keutamaan berbaur dengan manusia dan menghadiri perkumpulan mereka, menyaksikan kebaikan, majelis dzikir bersama mereka, menjenguk yang sakit, membantu pengurusan jenazah mereka, membantu kebutuhan, membimbing ketidaktahuan mereka, dan berbagai maslahat lainnya, bagi yang mampu untuk amar ma’ruf dan nahi munkar, menahan diri dari menyakiti dan bersabar terhadap gangguan mereka. (Riyadhushshalihin, Hal. 210. Cet. 3. Muasasah Ar Risalah, Beirut)
Apa yang dikatakan Imam An Nawawi ini menunjukkan tetap utamanya berada di sebuah komunitas (jamaah) manusia, karena banyaknya manfaat yang dapat kita lakukan dan dapatkan dibanding seorang diri, namun kita mesti bersabar atas gangguan dari mereka.
Seorang shalih yang jernih, tetap dalam keadaan shalih walau kekurangan jamaahnya begitu nampak, namun dia tidak ikutan-ikutan keruh, maka ini lebih baik dibanding orang shalih yang sendirian. Sebab, yang satu mampu bertahan dalam keshalihan di tengah tantangan, sedangkan yang satunya shalih karena memang minim tantangan.
Lalu, Imam An Nawawi melanjutkan:
اعْلم أَن الاخْتِلاط بالنَّاسِ على الوَجْهِ الذي ذَكَرْتُهُ هو المختار الذي كان عليه رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم وسائِرُ الأَنبياءِ صلواتُ اللَّهِ وسلامُه عليهم، وكذلك الخُلفاءُ الرَّاشدونَ، وَمَنْ بعدهُم من الصَّحَابةِ والتَّابعينَ، ومَنْ بَعدَهُم من عُلَمَاءِ المسلمينَ وأَخْيارِهم، وهو مَذْهَبُ أَكْثَرِ التَّابعينَ ومَنْ بعدَهُم، وَبِهِ قَالَ الشَّافعيُّ وأَحْمَدُ، وأَكْثَرُ الفُقَهَاءِ رضي اللَّه عنهم أَجمعين. قال تعالى: {وتَعاونُوا عَلى البِرِ والتَّقْوَِى} [المائدة: 2] والآيات في معنى ما ذكرته كثيرة معلومة.
Ketahuilah, bahwa bergaul dengan manusia dengan cara yang seperti saya sebutkan itu adalah cara pilihan yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan semua Nabi Shalawatullah wa Salamuhu ‘Alaihim, demikian juga para Khulafa Ar Rasyidin, dan generasi sesudah mereka dari kalangan sahabat dan tabi’in, dan yang setelah mereka dari ulama kaum muslimin dan orang-orang terbaik mereka. Inilah madzhab mayoritas tabi’in dan yang setelah mereka, inilah pendapat Asy Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas ahli fiqih –semoga Allah meridhai mereka semua. Allah Ta’ala berifrman: (Saling tolonglah kalian atas kebajikan dan taqwa. (Al Maidah: 2). Ayat yang semakna dengan ini begitu banyak dan telah diketahui. (Ibid)
Dalam hal ini, dari Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَلَا مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَسْكُنَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْفَذِّ وَهُوَ مِنَ الِاثْنَيْنِ أَبْعَدُ
Ketahuilah, siapa yang suka dirinya tinggal ke dalam indahnya surga hendaknya tetap bersama jamaah, sesungguhnya syetan itu bersama orang yang sendiri, dan terhadap orang yang berdua dia menjauh. (HR. An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 9180, Asy Syafi’i dalam Musnadnya No. 1788 yang disusun oleh Abu Sa’id Alimuddin, Al Humaidi dalam Musnadnya No. 32, Ath Thahawi dalam Syarh Musykilul Aatsar No. 3718, Ibnu Baththah dalam Al Ibanah Al Kubra No. 115, Alauddin Al Muttaqi, Kanzul ‘Ummal No. 1033. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 430)
Ada pun jika seorang muslim berada di sebuah jamaah manusia yang keadaannya sudah sedemikian rusak, tak ada celah kebaikan sama sekali, dan dia pun tidak bisa melakukan perbaikan, maka dalam keadaan seperti itu ‘uzlah (memisahkan diri) dari komunitas manusia yang rusak tersebut adalah lebih utama.
Nah, oleh karenanya Imam An Nawawi membuat Bab dalam kitab yang sama:
باب استحباب العزلة عند فساد الناس والزمان أو الخوف من فتنة في الدين أو وقوع في حرام وشبهات ونحوها
Bab tentang disukainya memisahkan diri dari masyarakat ketika manusia dan zaman telah rusak, atau takut fitnah yang akan menimpa agama, atau terjatuh dalam keharaman, syubhat, dan semisalnya. (Ibid, Hal. 209)
Dan, Imam An Nawawi menyampaikan banyak dalil untuk itu. Silahkan merujuk ke sana.
3. Ungkapan yang melarang keluar dari jamaah.
Jika yang dimaksud adalah larangan keluar dari jalannya jamaatul muslimin (komunitas umat Islam), larangan mengikuti jalan-jalan lain, maka hal ini tersebar dalam Al Quran dan As Sunnah.
Di antaranya, Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An Nisa: 115)
Ayat lainnya:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS. Al An’am: 153)
Dalam hadits juga disebutkan:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ : َ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: ) الثَّيِّبُ الزَّانِيْ، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّاركُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقُ للجمَاعَةِ (رواه البخاري ومسلم.
Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak halal darah seseorang muslim yang telah bersaksi tidak ada Ilah kecuali Allah dan aku sebagai utusan Allah, kecuali disebabkan salah satu di antara tiga hal: ats tsayyib az zaaniy (orang yang sudah nikah/janda/duda yang berzina), jiwa dengan jiwa (membunuh), dan orang meninggalkan agamanya adalah orang yang memisahkan diri dari jamaah.” (HR. Bukhari No. 6878 dan Muslim No. 1676)
Inilah nash-nash yang melarang kita untuk keluar dari jamaah yaitu komunitas umat Islam, baik dia murtad, atau membuat sekte-sekte bid’ah dan sempalan.
Ada pun jika yang dilmaksud “larangan keluar dari jamaah” adalah larangan keluar dari jamaah X, Y, Z dan seterusnya …. , larangan keluar dari kelompok yang didirikan oleh si Fulan dan si Alan …, maka ini semua tidak ada dasar bagi pihak yang melarangnya. Nash-nash di atas adalah larangan bagi yang keluar dari Islam, keluar dari komunitas besar kaum muslimin, bukan larangan keluar dari jamaah-jamaah spesifik itu. Justru jika jamaah tersebut termasuk jamaah yang menyimpang dari pokok-pokok agama maka wajib keluar dari jamaah-jamaah tersebut.
Demikian. Wallahu A’lam
Was Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhamamdin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajmain.
Judul : Hidup Bersama Jamaah
Deskripsi : Saya akan bahas masing-masing pertanyaan antum. 1. Ungkapan "Tangan Allah bersama jamaah." Ini adalah hadits Nabi Shalla...